Selasa, 30 September 2014

5 Kebijakan Soeharto yang Dibangga-banggakan Hingga Kini

Era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan segera berakhir. Setelah 10 tahun memimpin negeri ini, SBY harus menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan nasional kepada pemimpin baru.

Dalam hitungan hari, lebih dari 250 juta jiwa penduduk Indonesia bakal memiliki presiden dan wakil presiden anyar. Joko Widodo dan Jusuf Kalla bakal memimpin negeri ini untuk lima tahun ke depan.

Meski bakal memiliki presiden dan wakil presiden baru, rakyat Indonesia masih tetap mengidolakan pemimpin lama. Sepak terjang, kebijakan dari Presiden Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, dan Megawati Soekarnoputri masih harum dan kerap dijadikan contoh bagi pemimpin nasional di masa mendatang. Salah satunya karena positifnya kebijakan yang diambil.

Tengok saja yang terjadi pada sosok Presiden Soeharto yang digulingkan saat reformasi 1998 karena dianggap menyengsarakan rakyat. Tetap saja, masih ada pihak-pihak yang 'merindukan' sosok Soeharto dalam memimpin negeri ini.

Meskipun Soeharto sendiri tidak bisa menyelamatkan kondisi ekonomi nasional yang jatuh dihantam krisis ekonomi 1998, namun sekarang beberapa pihak seolah 'kangen' dengan kondisi ekonomi di era Soeharto. Ada beberapa kebijakan di kepemimpinan Soeharto yang dinilai bisa ditiru oleh presiden selanjutnya. Bahkan, kebijakannya masih dibagga-banggakan. Merdeka.com mencatatnya. Berikut paparannya.

Utang Hanya Pelengkap

Mantan menteri keuangan, Fuad Bawazier membanggakan kinerja Presiden Soeharto yang lebih tegas pada pengelolaan utang luar negeri. Jumlah utang luar negeri juga disebut tidak sebesar sekarang yang mencapai Rp 3.000 triliun lebih.

Menurut Fuad, utang luar negeri pada masa itu hanya jadi pelengkap dan sementara. Mayoritas utang luar negeri juga jangka panjang sehingga tidak memberatkan ekonomi.

"Pemerintah Pak Soeharto di orde baru utang hanya pelengkap sementara, jumlahnya kecil engga sebesar sekarang. Jangka panjang utangnya," ucap Fuad dalam diskusi di Jakarta, Senin (29/9).

Bikin Asing Khawatir

Banyak versi yang menceritakan kedigdayaan Indonesia di mata negara lain, ketika dipimpin Presiden Soekarno atau di era kepemimpinan Soeharto. Salah satunya diceritakan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia pada Kabinet Persatuan Nasional, Sarwono Kusumaatmadja.

Dia menceritakan betapa pentingnya keberadaan Indonesia dalam perekonomian dunia. Banyak negara yang diklaim bergantung pada Indonesia.

Sarwono menceritakan, di era Presiden Soeharto pernah ada rencana menutup Selat Lombok untuk dipakai latihan militer. Namun rencana ini dikhawatirkan negara lain lantaran Selat Lombok adalah jalur perdagangan.

"Ada suatu saat Pak Harto mengumumkan 'mohon maaf saya mau latihan militer di Selat Lombok dan akan saya tutup sementara'. Negara asing tidak bisa berbuat apa-apa, itu punya kita yang dilalui internasional pelayaran. Mereka (asing) langsung khawatir," ucap Sarwono dalam diskusi di Hotel Borobudur, Jakarta, Senin (29/9).

Privatisasi BUMN

Mantan Menteri Pendayagunaan Badan Usaha Milik Negara Tanri Abeng menceritakan alasan kini mayoritas perusahaan pelat secara keuangan lebih sehat dan fokus mencari laba. Menurutnya, ini tidak lepas dari momentum krisis ekonomi yang memicu reformasi.

Tanri Abeng mengatakan, ide melepaskan BUMN dari struktur kementerian datang dari Presiden Soeharto. Negara saat itu putar otak buat membayar pinjam USD 2 miliar kepada Dana Moneter Internasional (IMF). Buat mewujudkannya, Soeharto memanggil Tanri yang saat itu masih menjabat Presiden Direktur Bakrie Group menghadap ke Bina Graha.

"Pak Harto bilang waktu itu punya 154 BUMN, awalnya mau dikembalikan ke menteri keuangan. Tapi beliau berpikir lagi. Menkeu ngurus fiskal saja sudah luar biasa parah. Dia ingin BUMN ditingkatkan nilainya, kalau sudah tinggi jual sebagian, jadi maksud beliau value creation melalui privatisasi," ujarnya dalam seminar "Mendorong BUMN Go International" di Jakarta, Selasa.

Tanri merancang beberapa konsep pengembangan BUMN buat Soeharto, lantas ditunjuk masuk ke Kabinet Pembangunan VII pada 1998. Dia diberi posisi Menteri Negara Pendayagunaan BUMN, posisi menteri anyar, tanpa staf dan gedung.

Tata Kelola Perdagangan

Kondisi neraca perdagangan Indonesia saat ini disebut lebih parah dibandingkan zaman Soeharto. Ekonom Didik J Rachbini menuturkan, penataan perdagangan wajib dilakukan untuk menghindari neraca defisit perdagangan makin lebar.

"Kebijakan perdagangan kita gagal, semua defisit itu terjadi karena impornya besar. Untuk impor kita rakus," ujar Didik usai diskusi di kantornya, Jakarta, Jumat (6/13).

Dia mengatakan, selama periode Januari-Mei 2013, defisit neraca perdagangan Indonesia mencapai USD 2,5 miliar. Nilai ini lebih besar dari total defisit neraca perdagangan 2012 yang hanya USD 1,65 miliar, ucapnya.

Dalam pandangannya, masalah neraca perdagangan yang tidak seimbang sudah terjadi sejak lama. Di era kepemimpinan Presiden Soeharto, masalah seperti ini mendapat prioritas untuk diselesaikan. Caranya dengan memperkuat sistem ketahanan pangan nasional agar Indonesia tidak tergantung pada impor dari negara lain.

Menurutnya, pemerintah saat ini dan pemerintahan selanjutnya bisa mengambil pelajaran dan mencontoh kebijakan di era Presiden Soeharto. Padahal zaman Pak Soeharto memimpin ini harus menjadi suatu perhatian dari pemerintah, tegasnya.

Swasembada Pangan

Indonesia kini dikenal sebagai salah satu negara importir lantaran banyak komoditas kebutuhan masyarakat yang terpaksa harus dipenuhi dengan cara impor. Seperti bahan pangan mulai dari beras hingga kedelai pemerintah terus mendatangkannya dari luar negeri. Pemerintah membuka lebar-lebar keran impor akibat perjanjian perdagangan bebas pasca 1998.

Salah satu kondisi lebih buruk dibandingkan zaman Soeharto adalah tingginya harga kedelai. Padahal zaman orde baru Indonesia pernah mengalami swasembada kedelai. Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) bercerita kejayaan kedelai Indonesia pernah terjadi zaman orde baru kepemimpinan. Presiden Soeharto. Saat ini kedelai masih dikuasai dan dimonopoli oleh Badan Urusan Logistik (Bulog).

"Masalah kedelai diatur pemerintah dimulai sejak 1979 - 1998 hampir 20 tahun dikelola dan monopoli oleh Bulog. Selama 20 tahun kehidupan petani dan pengrajin baik dan tahun 1992- 1993 kita sudah swasembada kedelai di Indonesia. Itu zaman keemasan kami," kata Ketua Gakoptindo Aip Syarifudin di Gedung KPPU, Jakarta, Kamis (5/9).

Aip mengatakan, sebenarnya Indonesia bisa kembali ke masa kejayaan kedelai pada 1992. Syaratnya konsisten pada aturan Perpres 32 tahun 2013. Dalam beleid ini diatur HJP (Harga Jual Pengrajin) serta dibatasinya kuota impor.

"Kita pernah swasembada 1992 dan 1993. Sesungguhnya bisa terjadi lagi. Ada Perpres 32 tahun 2013 dilaksanakan konsekuen oleh pemerintah yang Sekarang sudah terbit. Tapi sama pemerintah dicabut lagi dan impor dibuka lebar lagi, berarti perdagangan bebas lagi. Dengan begitu importir bisa saling bunuh membunuh," ucapnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar