Setiap tahunnya, kuota BBM subsidi pemerintah (premium dan solar) selalu melampaui batas. Data dari Pertamina per Juli 2014 menyebutkan konsumsi BBM subsidi masyarakat perhari mencapai 81 ribu kiloliter, melebihi ambang batas yang dipatok pemerintah 80 ribu kiloliter.
Wacana kenaikan harga BBM pun bergulir. Hal itu menjadi warna tersendiri jelang pelantikan presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi).
Kubu Jokowi mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menaikkan harga BBM sebelum lengser.
Secara politis, banyak menilai jika kenaikan BBM dilakukan saat Jokowi menjabat, bisa menjadi titik resistensi pertamanya dengan rakyat. Namun di sisi lain, sepertinya desakan kepada SBY juga bakal mental.
Yakin SBY gak akan naikkan BBM
Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso yakin Presiden SBY tidak akan menaikkan harga BBM bersubsidi jelang lengser. Sebab, SBY sudah berkomitmen tidak akan mengambil kebijakan strategis di masa transisi seperti sekarang.
"Kalau saya melihat policy yang diambil Presiden Yudhoyono, menteri-menteri tidak boleh bikin kebijaksanaan strategis. Saya kira enggak mungkin presiden melakukan perubahan itu, jangankan masalah BBM, masalah direksi BUMN saja, padahal presiden masih berwenang beliau tidak gunakan itu," kata Priyo di Gedung DPR, Jakarta, Rabu.
PKS sindir komitmen PDIP
Wasekjen PKS Fahri Hamzah menyindir konsistensi PDIP soal rencana kenaikan harga BBM bersubsidi. Dahulu, kata Fahri, PDIP paling ngotot menolak kenaikan, namun ketika Jokowi-JK ingin memerintah, malah mendesak SBY menaikkan BBM.
Fahri menyebut, PKS tetap konsisten bersama PDIP untuk menolak kenaikan BBM. Bahkan saat menolak BBM dulu, PKS sempat diminta keluar dari partai pemerintah.
"Intinya ikut PDIP, tolak kenaikan BBM, itu wujud koalisi kita," kata Fahri di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (27/8).
Marzuki Alie patahkan argumen JK
Wakil Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Marzuki Alie mengingatkan agar PT Pertamina tidak ikut-ikutan bermain politik, dan membuat seolah BBM langka karena kebijakan subsidi. Pasokan BBM, menurutnya tidak boleh hilang, meski ada pembatasan BBM bersubsidi.
"Jangan gara-gara kebijakan mengurangi subsidi, pasokan menjadi kurang. Ini tanggung jawab mereka (Pertamina). Dalam situasi begini di mana nuansa politik tinggi, jangan buat kesan seolah-olah memang ada kesulitan BBM untuk mencari alasan menaikkan harga BBM bersubsidi atau menghilangkan subsidi," katanya.
Sinyalemen ini, menurut Marzuki, semakin kuat karena sebelumnya Wapres Terpilih, Jusuf Kalla (JK) mengeluarkan pernyataan yang seolah membenarkan hal itu.
"Statement JK daripada sulit antre dan BBM tidak ada, yang penting BBM ada, harga naikkan saja. BBM bersubsidi memang dibatasi, masih masuk akal kalau BBM bersubsidi berkurang di pasaran. Tapi jangan BBM non-subsidi juga hilang," terangnya.
PDIP kena karma
Wasekjen Partai Demokrat Ramadhan Pohan menyebut PDIP sebagai partai utama pengusung Jokowi-JK kena karma. Sebab, PDIP dulu yang paling kencang menolak kenaikan harga BBM saat SBY harus mengambil kebijakan tersebut.
"Kalau kata orang Myanmar, Budha, orang itu harus ingat karma. Nah, parpol juga gitu, dulu saat oposisi asal njeplak jadinya. Kini mereka jiper sama tuntutan rakyat," kata Ramadhan dalam pesan singkat, Rabu (27/8).
Jokowi dan PDIP gak PeDe
Masih menurut Pohan, Jokowi dan PDIP tidak percaya diri karena belum berkuasa sudah meminta menaikan harga BBM kepada SBY.
"Belum berkuasa, eh kini sudah mulai enggak pede. Makanya ngono yo ngono, ning ojo ngono. Santun sajalah," kritik dia.
Wakil Ketua Komisi I DPR ini menegaskan, SBY menaikkan atau menurunkan harga BBM saat memerintah tak pernah karena pencitraan. Dia yakin, SBY tak akan terpengaruh dengan rayuan Jokowi yang bertemu di Bali hari ini.
"SBY enggak pernah naikkan atau nurunkan harga BBM karena tekanan politik parpol. Kebijakan Pak SBY solid dan konsisten untuk rakyat. Sekarang pun begitu, SBY mau naikkan atau turunkan atau status quo harga BBM, juga bukan karena PDIP. Ukuran Pak SBY itu hanya rakyat dan kepentingan nasional. Bukan pencitraan," tegas dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar